Buy Now, Panic Later? Menelusuri Fenomena BNPL di Kalangan Konsumen Muda
5/12/2025

Buy Now, Panic Later? Menelusuri Fenomena BNPL di Kalangan Konsumen Muda

“Bayar nanti, belanja sekarang.” Kalimat ini bukan cuma jadi tagline manis layanan Buy Now, Pay Later (BNPL), tapi juga mencerminkan bagaimana lanskap konsumsi di Indonesia mulai bergeser. Kalau dulu kartu kredit jadi simbol fleksibilitas, sekarang fintech BNPL seperti Shopee PayLater, Kredivo, Akulaku, hingga GoPay Later justru menjadi primadona—khususnya bagi generasi muda yang ingin tetap konsumtif tanpa harus punya kartu kredit.

BNPL menawarkan solusi keuangan yang seemingly sederhana: belanja dulu, bayar di kemudian hari—tanpa ribet. Tapi, benarkah semudah itu? Mari kita kupas lebih dalam tren ini, dari data hingga dampaknya.

Generasi Muda: Loyal User dan Risk Taker

Menurut laporan dari Katadata Insight Center dan Kredivo (2024), pengguna BNPL di Indonesia meningkat secara konsisten, dengan dominasi kelompok usia 26–35 tahun. Ini bukan angka yang mengejutkan, mengingat kelompok usia ini adalah “prime consumer”—mereka aktif di e-commerce, tech-savvy, dan selalu ingin akses ke gaya hidup yang cepat dan instan.

Namun, yang menarik adalah fakta bahwa gender gap cukup jelas: 56,5% pengguna BNPL adalah laki-laki. Fenomena ini memperlihatkan bahwa preferensi dan pengambilan risiko keuangan antara gender bisa berbeda—dan ini menarik untuk ditelusuri oleh brand maupun pelaku pasar keuangan.

Kenapa BNPL Laris?

Ada beberapa “poin jual” utama dari layanan BNPL yang membuatnya begitu populer:

  • Praktis dan Cepat: Tidak perlu jaminan, tidak perlu dokumen rumit. Beberapa klik saja sudah cukup.

Terintegrasi langsung di e-commerce: Shopee, Tokopedia, bahkan layanan pesan antar makanan sekarang punya fitur BNPL.

Diskon dan cashback: Banyak promo menarik yang membuat orang merasa “lebih untung” menggunakan BNPL daripada bayar tunai.

Tapi keuntungan-keuntungan ini juga punya bayang-bayang risiko yang tak kalah besar.

Utang Konsumtif: Tren atau Alarm Bahaya?

Penelitian dari berbagai universitas di Indonesia menunjukkan bahwa mahasiswa dan generasi muda yang menggunakan BNPL cenderung lebih konsumtif. Shopee PayLater, misalnya, disebut dalam beberapa studi akademik sebagai trigger gaya hidup impulsif—karena membuat orang merasa mampu membeli sesuatu yang sebenarnya tidak mereka butuhkan.

Hal ini sejalan dengan temuan bahwa penggunaan BNPL untuk kebutuhan non-prioritas seperti makanan dan gaya hidup justru meningkat. Pada 2023, penggunaan BNPL untuk makanan naik menjadi 17,6% dari tahun sebelumnya. Artinya, layanan ini bukan cuma digunakan untuk pembelian besar seperti gadget, tapi juga untuk kebutuhan harian yang sebelumnya dibayar tunai.

Apakah Ini Salah Si BNPL?

Tidak juga. BNPL hanyalah alat. Yang membedakan adalah bagaimana pengguna memanfaatkannya. Dalam riset yang dilakukan oleh SWA bersama beberapa akademisi, terungkap bahwa pengguna yang “berpendidikan finansial” cenderung lebih bijak memanfaatkan BNPL sebagai alat cashflow, bukan alat konsumtif.

Namun ironisnya, riset juga menunjukkan bahwa sebagian besar pengguna BNPL justru belum punya literasi keuangan yang kuat. Jadi, masalahnya bukan di teknologinya, tapi di kesiapan penggunanya.

Dampak Jangka Panjang bagi Ekonomi?

Di satu sisi, BNPL membuka akses pembiayaan mikro yang lebih luas. Bahkan, beberapa UMKM mulai menggunakan BNPL untuk membeli bahan baku saat kas lagi ketat. Ini membuka peluang ekonomi inklusif. Tapi di sisi lain, tanpa pengawasan dan edukasi yang tepat, risiko utang macet bisa jadi ancaman laten, apalagi di tengah ekonomi yang masih labil.

Bank Indonesia sendiri mengeluarkan regulasi terkait Consumer Protection agar layanan BNPL tetap sehat. Tapi implementasi di lapangan masih jadi tantangan, terutama untuk pemain non-bank atau peer-to-peer lending.

Lalu, Apa Insight yang Bisa Kita Ambil?

  1. BNPL adalah produk keuangan, bukan gaya hidup. Kita perlu shift mindset dari “bisa beli sekarang” ke “perlu beli sekarang?”

  2. Untuk brand dan marketer: BNPL bisa jadi alat akuisisi konsumen yang powerful, tapi hanya kalau digunakan secara bertanggung jawab. Fokus pada edukasi pelanggan akan menjadi nilai jual jangka panjang.

  3. Untuk investor dan pelaku industri fintech: Ini adalah lahan subur, tapi penuh jebakan. ESG (Environmental, Social, Governance) juga akan masuk ke dalam pertimbangan bisnis fintech, termasuk soal perlindungan konsumen.

  4. Untuk konsumen: Pahami perbedaan antara “kemampuan bayar” dan “izin untuk bayar nanti.” Dua hal itu tidak selalu sejalan.

BNPL bukan musuh. Tapi juga bukan dewa penolong. Dia adalah alat yang bisa menguntungkan jika digunakan secara strategis, namun juga bisa jadi bom waktu kalau dipakai tanpa rencana.

So, next time kamu tergoda untuk “checkout now, pay later”—coba pikirkan dulu: itu kebutuhan atau keinginan?

Other Articles