
Dari Cash ke Scan: Kukusan Go Digital!
Beberapa tahun lalu, kalau kita mampir ke warung-warung makan atau tukang gorengan di Kukusan—daerah yang terkenal padat dengan mahasiswa UI—kita pasti akan disambut dengan tulisan “Bayar pakai cash aja ya”. Tapi sekarang? Hampir semua lapak, dari angkringan sampai laundry kiloan, sudah pasang stiker QRIS. Ada yang pakai ShopeePay, GoPay, OVO, bahkan yang langsung terhubung ke rekening bank.
Perubahan ini sebenarnya bukan sesuatu yang muncul tiba-tiba. Awalnya, waktu pandemi COVID-19 melanda, banyak orang mulai menghindari kontak langsung, termasuk saat bayar-membayar. Pemerintah dan Bank Indonesia juga saat itu sedang gencar mendorong penggunaan QRIS sebagai sistem pembayaran yang lebih aman dan efisien.
Kebijakan ini ternyata cukup berhasil. Data dari Bank Indonesia menunjukkan bahwa sampai akhir 2023, sudah ada lebih dari 28 juta pengguna QRIS dan sekitar 26 juta merchant yang tergabung, kebanyakan adalah UMKM. Targetnya, di tahun 2025 nanti, ada 45 juta merchant yang menggunakan QRIS. Ini bukti bahwa adopsi pembayaran digital memang sedang berkembang cepat, bahkan sampai ke level paling kecil.
Di Kukusan sendiri, fenomena ini jadi terasa banget. Banyak pedagang yang awalnya tidak paham teknologi, pelan-pelan mulai ikut masuk ke dunia digital. Awalnya karena kebutuhan: banyak mahasiswa yang lebih nyaman bayar pakai dompet digital daripada bawa uang tunai. Lama-lama, para pedagang mulai sadar kalau QRIS bukan cuma soal gaya, tapi juga efisiensi.
Salah satu penjual nasi goreng di Kukusan bilang, “Dulu mikirnya ribet, tapi ternyata malah lebih gampang. Duit langsung masuk rekening, gak pusing soal kembalian.” Dari sini terlihat bahwa digitalisasi itu gak selalu harus lewat pelatihan besar-besaran. Kadang, dorongan pasar—dalam hal ini mahasiswa UI—bisa jadi pemicu paling ampuh.
Fenomena ini juga memperlihatkan bagaimana teknologi bisa jadi jembatan untuk inklusi keuangan, bahkan di daerah semi-perkotaan seperti Kukusan. Apalagi, QRIS gak cuma membantu transaksi jadi lebih cepat, tapi juga bikin pelaku usaha lebih siap kalau suatu saat harus melebarkan sayap ke platform digital yang lebih besar.
Fenomena penggunaan QRIS di Kukusan bukan sekadar tren sesaat, melainkan cerminan dari perubahan cara berpikir dan bertransaksi masyarakat akar rumput. Di tengah derasnya arus digitalisasi, kawasan yang dulunya lekat dengan budaya tunai ini justru menjadi panggung kecil bagi lahirnya kebiasaan baru yang lebih cepat, aman, dan efisien. Saat warung pinggir jalan bisa menerima pembayaran digital, saat tukang gorengan tak lagi repot mencari kembalian, di sanalah teknologi benar-benar membumi dan menyatu dengan keseharian. Kukusan memberi gambaran bahwa inklusi keuangan bukan mimpi, melainkan proses yang terus berjalan—pelan, tapi pasti.